Top Menu

Sabtu, 03 November 2012

MEMPERINGATI HARI SUMPAH PEMUDA

Bangsa ini memeringati peristiwa Nasional "Sumpah Pemuda" pada tanggal 28 Oktober 2011. 
83 tahun lalu para pemuda Indonesia yang berjiwa nasionalis melalui suatu kongres Pemuda Indonesia telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda, menetapkan tujuan nasional yakn"satu negara - Negara Indonesia, satu bangsa- Bangsa Indonesia.
Pada kongres Pemuda 28 Oktober 1928 itu untuk pertama kalinya diperdengarkan di forum resmi lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Kongres  lalu ditutup  dengan pembacaan Sumpah Pemuda yang bunyi aslinya sebagai berikut:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Satu dari sejumlah momentum sejarah bangsa ini adalah lahirnya Sumpah Pemuda yang terjadi delapan tiga tahun lalu. Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia sudah terbentuk. Komitmen Sumpah Pemuda 28 Oktober mengantarkan kita meraih kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kongres Sumpah Pemuda tersebut dihadiri perwakilan pemuda dari segala penjuru daerah dan berbagai etnis seperti    Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak,  Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain. Diantara mereka juga ada pemuda Indonesia keururnan Tioghoa dan Arab  Bahkan A.R Baswedan kemudian melanjutkan komitmen dengan mengadakan Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab di Semarang. Singkatnya, pemuda Indonesia kala itu sangat nasionalis dan memiliki semangat juang tinggi untuk merdeka dari cengkeraman kekuasaan imperialisme.
KONDISI SEKARANG
Setelah 83 tahun berlalu bagaimana kondisi bangsa Indonesia? Kita melihat perilaku manusia Indonesia disana sini tereduksi dengan sifat-sifat tercela yang merebak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini merupakan bukti telah terjadinya dekadensi moral. Fenomena perilaku kekerasan, tawuran, pemerkosaan, KDRT, bullying di sekolah hingga tindak korupsi tiada henti merupakan tanda bahwa negara mengalami persoalan berat & akut.
Dari waktu ke waktu aksi-aksi brutal dan kriminal anak muda (pemuda) menghiasi halaman surat kabar dan media elektronik. Sementara elite pejabat yang semsetinya dapat mengatasi persoalan sosial masyarakat tak jarang melakukan perbuatan tercela dan melanggar hukum.  Bahkan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Betapa kita saksikan ratusan elite DPR, eksekutif hingga yudikatif telah merasakan "Hotel Prodeo". Mereka yang tadinya diharapkan dapat dijadikan panutan malah menjadi lelucon politik. Tingkat kesejahteraan materi para elite berada jauh diatas rata - rata rakyat Indonesia yang hanya berpenghasilan US$ 2 / hari atau kurang dari 600 ribu rupiah per bulan (beradasarkan standar PBB tentang kemiskinan).
Bertanah air satu Tanah Air Indonesia
Walau keutuhan NKRI secara umum masih mewujud, namun kedaulatan Negara atas tanah di wilayah Sipadan dan Ligitan tidak dapat dipertahankan.. Lepasnya Timor Timur dari NKRI juga menunjukkan bahwa kesatuan bangsa tidak sekuat yang diduga. Sampai kini gejolak makar dan gejala separatisme masih menjadi bahaya laten dan mengancam keutuhan NKRI. Kekayaan alam di daerah yang tergerus akibat eksploitasi terus menerus tanpa peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dapat menjadi bom waktu siap ledak. Tanah air yang mengandung kekayaan berlimpah belum dapat dirasakan masyarakat secara merata. Di darat lahan pertanian sudah banyak menjadi milik para konglomerat. Petani kita hanya sebatas sebagai buruh tani yang hidup pas-pas an. Sementara kebutuhan sehari-hari meningkat, maka tak khayal banyak yang beralih profesi jadi buruh industri dan urbanisasi ke kota besar. Padahal Negara ini dikenal sebagai Negara agraris, tapi kini produk pertanian kita tak berjaya. Bahkan Thailand yang tidak lebih luas dari wilayah Jawa Timur berhasil mengekspor jambu, durian bangkoknya kesini. Sementara kekayaan laut dicuri nelayan asing. Nelayan kita sendiri terkendala dengan berbagai persoalan klasik seperti biaya, alat dan perlengkapan serta dominasi konglomerat yang ikut mengeruk kekayaan laut Indonesia.
Berbangsa satu Bangsa Indonesia 
 
Kebanggaan menjadi bangsa Indonesia tercabik dengan berbagai perilaku menakutkan sebagian anak bangsa. Mulai dari aksi-aksi pemaksaan kehendak hingga terorisme telah menjadi santapan berita media massa dalam dan luar negeri. Dekadensi moral dan penegakan hukum yang lemah menambah runyamnya persoalan bangsa. Peringkat daya saing manusia Indonesia (human development index) juga rendah berada dibawah Negara-negara tetangga.  Bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang super pragmatis dan berisfat hedonistik. Ukuran sukses selalu dilihat dan diukur dari kekayaan materi yang dimiliki. Uang menjadi segala-galannya dan segala-galanya memerlukan uang. Alhasil, biaya hidup menjadi tinggi karena orientasi kerja pembangunan Negara lebih pada mekanisme ekonomi liberal yang mengutamakan keuntungan materi. Transportasi publik, pelayanan kesehatan masyarakat hingga pendidikan menjadi demikian mahal. Maka orang miskin mesti minggir dan jangan berharap memeroleh pelayanan maksimal. Disisi lain elite penyelenggara Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hidup dalam gelimang kemewahan dalam berbagai fasilitas yang disediakan negara, sementara rakyat banyak yang susah hidup.
Berbahasa satu Bahasa Indonesia
Bagaimana dengan persoalan berbahasa? Bangsa ini masih kurang memedulikan kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Banyak dari kita terutama kalangan kelas atas termasuk pejabatnya yang senang mengobral kosa kata asing (baca: bahasa Inggris) pada tiap kesempatan berbicara di depan publik. Seolah jika tidak memakai istilah asing serasa kurang afdol, Mereka ingin dianggap pintar dan berkelas. Cara pandang seperti ini merupakan peninggalan perilaku dan sikap feodalistik yang mengakar sejak dulu. Media massa tidak ketinggalan sangat ke inggris-inggrisan, seakan-akan kita berada di Negara asing. Dengan perilaku seperti ini bagaimana kita bisa disebut sebagai orang yang menghargai bahasanya sendiri. Bung Karno Presiden pertama RI pernah geram melihat perilaku kalangan elite ("the have") kala itu yang seringkali berbahasa asing"cas-cis-cus" (meminjam istilah Bung Karno) di depan umum. Bung Karno yang menguasai banyak bahasa Asing tidak ingin bahasa Indonesia tenggela. Beliau memerotes keras penggunaan bahasa asing di tempat umum seperti papan nama, atau  spanduk iklan di jalan-jalan.
Paparan diatas adalah realita Indonesia sekarang setelah 83 tahun lalu para pemuda dengan semangat patriotisme luar biasa mengumandangkan Sumpah Pemuda dan merasa bangga sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Sayang sampai kini belum ada upaya merevitalisasi semangat dan nilai sumpah pemuda tersebut melalui program nyata, sistemik dan terukur.
Sumber : http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2630:sumpah-pemuda-antara-harapan-dan-kenyataan&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210

0 komentar:

Posting Komentar